Oleh Cak her, Jurnalis PURNAMA NEWS.COM Wilayah Jatim
Kabupaten Malang, PURNAMA NEWS.COM — Opini
Malang – Berziarah ke tempat sakral seharusnya menjadi perjalanan batin yang tenang, sarat makna, dan penuh refleksi spiritual. Namun, ada satu catatan yang harus menjadi perhatian serius pihak pengelola Pesarean Gunung Kawi maupun pemkab setempat, yakni masalah keberadaan ” calo ” yang begitu lekat dengan kawasan religius yang berlokasi di Desa/ Kecamatan Wonosari, Kabupaten Malang, Jawa Timur, ini.
Adapun pengalaman tim Jurnalis PURNAMA NEWS.COM saat melaksanakan kegiatan jurnalistik sekaligus berziarah di Pesarean Gunung Kawi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, kita urai dalam pembahasan artikel ini.
Di sepanjang jalur menuju area Pesarean Eyang Jugo atau Kyai Zakaria dan Imam Soejono, sejumlah orang tampak sigap menyambut setiap kendaraan yang datang. Mereka menawarkan jasa memandu, konon agar peziarah tak salah langkah dalam menjalankan tata cara ziarah. Tapi cara mereka melakukannya itu dirasa tim Jurnalis media ini terkesan berlebihan ; mengejar, dan memonopoli ruang kenyamanan pengunjung.

Alih-alih merasa dibantu, tim Jurnalis PURNAMA NEWS.COM justru merasa tidak nyaman, risih, bahkan terganggu. Sejak turun dari kendaraan, langsung disambut dengan berbagai tawaran jasa yang terus berulang. Padahal niat kami sederhana ; meliput tentang Pesarean Gunung Kawi dan berziarah dengan khidmat.
Tak dapat dipungkiri , keberadaan para calo di area Pesarean Gunung Kawi adalah fenomena sosial yang kompleks. Di satu sisi, mereka adalah bagian dari masyarakat sekitar yang berusaha mencari nafkah. Namun di sisi lain, praktik yang terkesan tidak tertib dan terkesan telah mencederai kesakralan tempat ziarah serta berpotensi merusak citra destinasi spiritual.

Pesarean Gunung Kawi, dengan segala kisah mistis dan historisnya, banyak orang datang untuk berdoa, mencari ketenangan, atau sekadar merenung. Namun, nilai spiritual itu akan sulit dirasakan jika sejak awal pengunjung sudah “diserbu” oleh para calo – calo.
Pengelola Pesarean Gunung Kawi dan pemerintah daerah semestinya hadir lebih aktif. Maksudnya di sini adalah bukan dengan meniadakan peran masyarakat, melainkan menatanya. Para warga lokal dapat dilibatkan secara resmi ; misalnya menjadi pemandu bersertifikat, petugas informasi, atau relawan ziarah. Sehingga interaksi dengan pengunjung tetap terarah, sopan, dan bermartabat.

Ziarah bukan sekadar perjalanan fisik, melainkan perjalanan batin. Setiap gangguan kecil di luar substansi spiritualnya akan mengurangi kekhusyukan yang menjadi inti dari kegiatan itu.
Kawasan Pesarean Gunung Kawi sangat layak dijaga, bukan hanya karena ia menyimpan makam dua tokoh besar yang dihormati, tetapi juga karena di sana terdapat nilai-nilai kearifan lokal dan spiritualitas yang seharusnya diwariskan dengan tenang tanpa calo, dan tanpa rasa tidak nyaman.





