Prunamanews|Batam Aktivitas tambang bauksit ilegal di kawasan Jalan Hang Tuah, Nongsa, Batam, makin sulit dibantah. Truk-truk pengangkut tanah merah hilir-mudik tanpa henti, menebar debu, meninggalkan jalan rusak berlubang, dan menimbulkan keresahan luas di tengah masyarakat. Ironisnya, lokasi tambang ini hanya berjarak beberapa menit dari markas Polda Kepri.
Tanpa Izin, Tanpa Papan Nama, Tapi Bebas Beroperasi
Pantauan lapangan memperlihatkan aktivitas pertambangan berjalan terbuka seperti proyek resmi berskala besar. Alat berat mengikis bukit, ratusan truk antre mengangkut hasil galian, sementara tidak ada satu pun papan nama izin usaha pertambangan (IUP) yang terpampang di lokasi.
Tidak tampak pula petugas pengawas lingkungan atau standar keselamatan kerja yang biasanya menjadi syarat mutlak setiap kegiatan tambang.
“Kalau ini legal, pasti ada papan izinnya. Tapi yang kami lihat cuma tanah dikeruk dan debu masuk ke rumah,” ujar salah seorang warga Nongsa, Sabtu (18/10). Ia mengaku sudah bosan mengeluh karena tak pernah ada tanggapan.
Setiap hari, jalan utama Hang Tuah yang menjadi akses warga berubah menjadi jalur berat truk tambang. Lapisan aspal terkelupas, jalan berlubang dalam, dan saat hujan turun, lumpur menutupi badan jalan hingga menyulitkan pengendara melintas.
Dekat Markas Polda, Tapi Tak Tersentuh
Kondisi ini menimbulkan tanda tanya besar di kalangan publik. Sebab, aktivitas tambang tersebut berada dalam wilayah hukum Polda Kepri, bahkan tergolong sangat dekat dari pusat komando kepolisian daerah.
Namun hingga berita ini diturunkan, belum ada tindakan penertiban atau penegakan hukum yang terlihat di lapangan.
“Kalau tambang ilegal bisa jalan sedekat ini dari Polda, publik wajar curiga. Ada apa di balik diamnya aparat?” kata salah satu aktivis lingkungan di Batam yang menilai situasi ini sebagai bentuk pembiaran sistematis.
Seorang jurnalis sempat mencoba menghubungi pihak-pihak yang disebut terlibat di lapangan melalui pesan langsung dan panggilan telepon. Namun upaya konfirmasi itu tidak mendapat respons hingga laporan ini ditulis.
Lingkungan Rusak, Penegakan Hukum Mandek
Selain merusak infrastruktur jalan, tambang ilegal di Nongsa juga menimbulkan kerusakan ekologis. Lahan hijau di perbukitan mulai gundul, tanah terbuka dibiarkan tanpa reklamasi, dan air hujan membawa endapan lumpur ke parit serta permukiman warga.
Tak ada satu pun tanda bahwa lokasi ini diawasi atau dikendalikan oleh dinas teknis, baik dari sisi pertambangan maupun lingkungan hidup.
Menurut catatan aktivis, bauksit ilegal menjadi sumber masalah klasik di Batam dan Bintan selama bertahun-tahun. Pola umumnya sama: aktivitas dimulai tanpa izin, berjalan aman seolah dilindungi, lalu berhenti sementara ketika sorotan publik meningkat-hanya untuk muncul lagi di lokasi berbeda.
Hukum yang Tumpul ke Atas
Fenomena ini kembali memperlihatkan bagaimana penegakan hukum di sektor tambang masih tebang pilih. Aparat tampak sigap menindak pelaku kecil, namun mati rasa ketika berhadapan dengan jaringan yang lebih besar dan punya akses kekuasaan.
Tanpa izin, tanpa pengawasan, namun tetap beroperasi leluasa.
Kasus tambang bauksit ilegal di Nongsa Batam kini menjadi cermin buram penegakan hukum di Kepulauan Riau – sebuah wilayah yang kaya sumber daya, tapi miskin pengawasan dan ketegasan.
Pertanyaannya kini bergema di ruang publik:
👉 Mengapa Polda Kepri diam ?
👉 Siapa yang diuntungkan dari pembiaran ini ?
Dan lebih jauh lagi, sampai kapan hukum hanya berani turun ke jalan ketika menyangkut rakyat kecil, tapi menutup mata ketika tambang ilegal merusak lingkungan di depan markasnya sendiri?