Purnamanews.com,Makassar– Dalam momentum peringatan Hari Kartini, Ketua Umum Himpunan Pergerakan Mahasiswa Hukum study Club (HIPPERMAHK SC) mengajak seluruh perempuan Universitas Muslim Indonesia (UMI) untuk merenungkan kembali makna perjuangan perempuan dari masa ke masa, serta menelaah bagaimana pergerakan itu hadir hari ini dalam wajah yang berbeda—namun dengan semangat yang semestinya tetap sama.
“Perempuan hari ini telah berada di berbagai ruang yang dulu tertutup. Mereka memimpin ruang akademik, ekonomi, sosial, bahkan politik. Tapi pertanyaannya, sejauh apa kehadiran itu benar-benar memberi perubahan bagi sesama perempuan? Apakah perjuangan perempuan hari ini masih membawa ruh emansipasi, ataukah hanya berhenti sebagai representasi simbolik?” ujar Ketua HIPPERMAHK SC.
Refleksi ini menarik benang sejarah dari perjuangan tokoh-tokoh perempuan terdahulu seperti R.A. Kartini, yang memperjuangkan hak pendidikan perempuan sebagai jalan untuk membebaskan diri dari belenggu ketidaksetaraan. Semangat itu kemudian disambung oleh para tokoh perempuan lain dalam sejarah bangsa—yang tidak hanya memperjuangkan ruang bagi perempuan untuk eksis, tetapi juga untuk berdaya dan berpihak pada yang tertindas.
Namun hari ini, di tengah pencapaian dan representasi yang membanggakan, pergerakan perempuan justru dihadapkan pada tantangan baru: ketika kepemimpinan perempuan hadir, namun tidak selalu disertai dengan keberanian untuk bersuara dan berpihak.
“Kita melihat sosok seperti Ibu Andi Ina Kartika Sari, Ketua DPRD Provinsi Sulawesi Selatan, sebagai contoh dari perempuan yang berhasil menembus ruang kekuasaan. Ini tentu pencapaian besar. Tapi di saat yang sama, publik juga berharap lebih: bahwa pemimpin perempuan dapat membawa warna yang berbeda—lebih sensitif terhadap suara rakyat, terutama perempuan di akar rumput,” jelasnya.
Ia menegaskan, kritik bukan ditujukan kepada personal, tetapi pada struktur yang kerap menjebak perempuan pemimpin untuk larut dalam politik kompromi. Dalam ruang itulah, refleksi diperlukan—agar perempuan yang hadir di ruang kuasa tetap menyadari akar perjuangan mereka: bukan sekadar hadir, tapi menghadirkan perubahan.
“Menjadi perempuan hari ini berarti menjadi Kartini masa kini: berpikir kritis, bersuara lantang, dan berdiri untuk yang lemah. Kita tidak lagi memperjuangkan akses pendidikan atau hak suara, tapi memperjuangkan agar kepemimpinan perempuan tidak tercerabut dari nilai keberpihakan,” tambahnya.
Ketua HIPPERMAHK SC menutup dengan ajakan kepada para Srikandi UMI untuk tidak hanya merayakan Hari Kartini, tetapi menjadikannya sebagai bahan bakar untuk terus bergerak, berpikir, dan menyusun langkah-langkah perubahan di ruangnya masing-masing.